Translate

Rabu, 16 November 2016

Malaikat Juga Tahu
Karya Dewi Lestari



Laki-laki dan perempuan itu terbaring di atas rumput, menatap bintang yang bersembulan dari carikan awan kelabu. Saat yang paling tepat untuk bermalam minggu di pekarangan.
Perempan itu hafal rutinitas ketat yang berlaku di sana. Laki-laki di sebelahnya memangkas rumput setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Mencuci baju putih setiap Senin, baju bewarna gelap hari Rabu, baju bewarna sedang hari Jumat. Menjerang air panas setiap hari pukul enam pagi untuk semua penghuni rumah. Menghitung koleksi sabun mandinya yang bermerek sama dan berjumlah genap seratus, setiap pagi dan sore.
Banyak orang yang bertanya-tanya tentang persahabatan mereka berdua. Orang-orang penasaran tentang topik obrolan mereka dan apa kegiatan perempuan itu selama berjam-jam di sana. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa ibu dari anak laki-laki itu, yang mereka sebut Bunda, sangat pandai memasak. Rumah Bunda yang besar dan memiliki banyak kamar adalah rumah kos paling legendaris. Bahkan ada ikatan alumni tak resmi dengan anggota ratusan, dipersatukan oleh kegilaan mereka pada masakan Bunda. Setiap lebaran, Bunda memasak layaknya katering pernikahan. Terlalu banyak mulut yang harus diberi makan. Namun jika cuma akses tak terbatas atas masakan Bunda yang jadi alasan persahabatan mereka berdua, orang-orang tidak percaya.
Laki-laki itu, yang biasa mereka panggil Abang, adalah makhluk paling dihindari di rumah Bunda, nomor dua sesudah blasteran Doberman yang galaknya di luar akal tapi untungnya sekarang sudah ompong dan buta. Abang tidak galak, tidak menggigit, tapi orang-orang sering dibuat habis akal jika berdekatan dengannya. Setiap pagi dia membangunkan seisi rumah itu dengan ketukannya di pintu dan secerek air panas untuk mandi. Dia menjemput baju-baju kotor dan bisa ngadat kalau disetorkan warna yang tidak sesuai dengan jadwal mencucinya. Sekalipun sanggup, Bunda tidak bisa memasang pemanas air bertenaga listrik atau sel surya. Anaknya harus menjerang air. Secerek air panas dan mencuci baju sewarna adalah masalah eksistensial bagi Abang. 
Mengubah rutinitas itu sama saja dengan menawar bumi agar berhenti mengedari matahari.
Bukannya tidak mungkin berkomunikasi wajar dengan Abang, hanya saja perlu kesabaran tinggi yang berbanding terbalik dengan ekspektasi. Dalam tubuh pria 38 tahun itu bersemayam mental anak 4 tahun, demikian menurut para ahli jiwa yang didatangi Bunda. Sekalipun Abang pandai menghafal dan bermain angka, ia tak bisa mengobrolkan makna. Abang gemar mempreteli teve, radio, bahkan mobil, lalu merakitnya lagi lebih baik dari semula. Dia hafal tahun, hari, jam, bahkan menit dari banyak peristiwa. Dia menangkap nada dan memainkannya persis sama di atas piano, bahkan lebih sempurna. Namun dia tidak memahami mengapa orang-orang harus pergi bekerja dan mengapa mereka bercita-cita.
Perempuan di pekarangan itu tahu sesuatu yang orang lain tidak. Abang adalah pendengar yang luar biasa. Perempuan itu bisa bebas bercerita masalah percintaannya yang berjubel dan selalu gagal. Tidak seperti kebanyakan orang, Abang tidak berusaha memberikan solusi. Abang menimpali keluh kesahnya dengan menyebutkan daftar album Genesis dan tahun berapa saja terjadi pergantian anggota. Gerutuannya pada kumpulan laki-laki brengsek yang telah menghancurkan hatinya dibalas dengan gumaman simfoni Beethoven dan tangan yang bergerak-gerak memegang ranting kayu bak seorang konduktor. Abang tidak bisa beradu mata lebih dari lima detik, tapi sedetik pun Abang tidak pernah pergi dari sisinya. Ia pun menyadari sesuatu yang orang lain tidak. Laki-laki di sampingnya itu bisa jadi sahabat yang luar biasa. 
Barangkali segalanya tetap sama jika Bunda tidak menemukan surat-surat yang ditulis Abang. Untuk pertama kalinya, anak itu menuliskan sesuatu di luar grup musik art rock atau sejarah musik klasik. Ia menuliskan surat cinta-kumpulan kalimat tak tertata yang bercampur dengan menu makanan Dobi, blasteran Doberman yang tinggal tunggu ajal. Tapi ibunya tahu itu adalah surat cinta.
Barangkali segalanya tetap sama jika adik Abang, anak bungsu Bunda, tidak kembali dari merantau panjang di luar negeri. Sang adik, kata orang-orang, adalah hadiah dari Tuhan untuk ketabahan Bunda yang cepat menjanda, disusul musibah yang menimpa anak pertamanya, seorang gadis yang bahkan tak sempat lulus SD, yang meninggal karena penyakit langka dan tak ada obatnya, lalu anak keduanya, Abang, mengidap autis pada saat dunia kedokteran masih awam soal autisme sehingga tak pernah tertangani dengan baik. Anak bungsunya, yang juga laki-laki, menurut orang-orang adalah figur sempurna. Ia pintar, normal dan fisiknya menarik. Ia hanya tak pernah di rumah kerena sedari remaja meninggalkan Indonesia demi bersekolah.
Barangkali sang adik tetap menjadi figur yang sempurna jika saja ia tidak memacari perempuan satu-satunya yang dikirimi surat cinta oleh kakaknya. Bunda tahu, secerek air panas dan cucian bewarna seragam sudah resmi bergandengan dengan rutinitas lain: perempuan itu. Dan bagi Abang, rutinitas bukan sekadar hobi, melainkan eksistensi.
Pertama kali Bunda mengetahui si bungsu dan perempuan itu berpacaran, Bunda langsung mengadakan pertemuan empat mata. Ia memilih perempuan itu untuk diajak bicara pertama karena dipikirnya akan lebih mudah.
“Bagi kamu pasti ini terdengar aneh. Mereka dua-duanya anak Bunda. Tapi kalau ditanya, siapa yang bisa mencintai kamu paling tulus, Bunda akan menjagokan Abang.” 
Perempuan itu terenyak. Apa-apaan ini? Pikirnya gusar. Jangan pernah bermimpi dia akan memilih manusia satu itu untuk dijadikan pacar. Jelas tidak mungkin.
Bunda melanjutkan dengan suara tertahan, “Dia mencintai bukan Cuma dengan hati. Tapi seluruh jiwanya. Bukan basa-basi surat cinta, bukan Cuma rayuan gombal, tapi fakta. Adiknya bisa cinta sama kamu, tapi kalau kalian putus, dia dengan gampang cari lagi. Tapi Abang tidak mungkin cari yang lain. Dia cinta sama kamu tanpa pilihan. Seumur hidupnya.”
“Tapi... Bunda bukan malaikat yang bisa baca pikiran orang. Bunda tidak bisa bilang siapa yang lebih sayang sama saya. Tidak akan ada yang pernah tahu.”
Saat itu mata Bunda berkaca-kaca. Begitu juga dengan matanya. Tak lama mereka menangis berdua. Namun ia tahu perbedaan dirinya dengan Bunda. Bagi perempuan itu, cinta tanpa pilihan adalah penjara. Ia ingin dirinya dipilih dari sekian banyak pilihan. Bukan karena ia satu-satunya pilihan yang ada.
Masih sambil berbaring, dengan punggung tangannya perempuan itu mengusap-usap rumput. Lengannya bergerak lambat dan gemulai seolah manarikan tari perpisahan. Ini akan menjadi malam Minggu terakhirnya di pekarangan serapi lapangan golf. Semalam mereka berbicara bertiga. Dia, Bunda dan si bungsu.
“Dia tidak bodoh.”
“Bunda, saya tau dia tidak bodoh.”
“Dia akan segera tahu kalian berpacaran.”
“Mami, lebih baik dia tahu sekarang daripada nanti setelah kami menikah.”
Bunda melengakkan kepala dengan tatapan tak percaya. “Bagi Abangmu, apa bedanya sekarang dan nanti?”
“Kami tidak mungkin sembunyi-sembunyi seumur hidup!” Anak laki-lakinya setengah berseru.
“Kalau perlu kalian harus sembunyi-sembunyi seumur hidup!” balas Bunda lebih tegas.
“Ini tidak adil. Ini tidak masuk akal...” protes anaknya lagi.
“Jangan bicara soal adil dan masuk akal. Aturan kamu, aturan kita, tidak berlaku bagi dia...” desis Bunda, “kamu tidak tinggal di rumah ini. Kamu tidak mengenalnya seperti Mami.”
Suatu hari, pernah ada anak kos yang jahil. Dia menyembunyikan satu dari seratus sabun koleksi Abang. Bunda sedang pergi ke pasar waktu itu. Abang mengacak-acak satu rumah, lalu pergi minggat demi mencari sebatang sabunnya yang hilang. Tiga mobil polisi menelusuri kota mencari jejaknya. Baru sore hari ia ditemukan di sebuah warung. Ada sabun yang persis sama dipajang di etalase dan Abang langsung menyerbu masuk untuk mengambil. Penjaga warung menelepon polisi karena tidak berani mengusir sendiri.
Kejadian itu mengharuskan Abang diterapi selama beberapa bulan ke rumah sakit dan diberi obat penenang. Bunda tahu betapa anaknya membenci rumah sakit dan obat-obatan itu hanya membuat otaknya rapuh. Tak ada yang memahami bahwa seratus sabun adalah syarat bagi anaknya untuk beroleh hidup yang wajar.
“Kamu harus tetap kemari setiap malam minggu. Tidak bisa tidak,” kata Bunda pada perempuan itu. “Dan selama kalian di rumah ini, kalian tidak boleh kelihatan seperti kekasih. Buat kalian mungkin tidak masuk akal. Tapi hanya dengan begitu abangmu bisa bertahan.”
Selepas berbicara dengan Bunda, mereka berbicara berdua. Mereka sepakat untuk selama-lamanya pergi dari kehidupan rumah itu. Tidak mungkin mereka terpenjara setiap minggu di sana. Mereka menolak menjadi bagian dari ritual menjerang air, cuci baju, dan seratus sabun.
Di pekarangan dengan tinggi rumput seragam, perempuan itu mengucapkan selamat tinggal di dalam hati. Persahabatan yang luar biasa ternyata mensyaratkan pengorbanan di luar batas kesanggupannya. Perempuan itu mengucap maap berulang kali di dalam hati.
Sejenak lagi, malam Minggu terakhir mereka usai.
Bunda menangisi setiap malam Minggu. Tidak pakai air mata karena ia tidak punya cukup waktu. Ia menangis cukup dalam hati.
Semua anak kos kini menyingkir jika malam Minggu tiba. Mereka tidak tahan mendengar suara lolongan, barang-barang yang diberantaki, dan seseorang yang hilir mudik gelisah mengucap satu nama seperti mantra. Menanyakan keberadaannya.
Kalau beruntung, Abang akhirnya kelelahan sendiri lalu tertidur di pangkuan ibunya. Kalau tidak, sang ibu terpaksa menutup hari anaknya dengan obat penenang.
Pada setiap penghujung malam Minggu, Bunda bersandar kelelahan dengan bulir-bulir besar peluh membasahi wajah, anaknya yang berbadan dua kali lebih besar tertidur memeluk kakinya erat-erat. Selain dengkuran dan napas anaknya yang memburu, tidak ada suara lain dirumah besar itu. Semua pergi. Dobi telah mati.
Bunda tak bisa dan tak merasa perlu mengutuk siapa-siapa. Mereka yang tidak paham dahsyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energi cinta akan meledakkannya dengan sia-sia. 
Perempuan muda itu benar. Dirinya bukan malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama. Tidak penting, ia sudah tau. Cintanya adalah paket air mata, keringat dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal begi seseorang. Bukan baginya. Cintanya tak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri.
Tidak perlu ada kompetisi di sini. Ia, dan juga malaikat, tahu siapa juaranya.





Analisis Cerpen
       I.            Unsur Intrinsik
                              1.            Tema
Cinta yang abadi
Bukti   : Rasa cinta yang tulus dari Abang yang mederita autis kepada sahabat perempuannya, akan tetapi perempuan tersebut memilih adik Abang.
                              2.            Penokohan
·         Abang (Protagonis)     : Memiliki cacat mental (autis)
Bukti   : “Dalam tubuh pria 38 tahun itu bersemayam mental anak 4 tahun, demikian menurut para ahli jiwa yang didatangi Bunda.”
·         Bunda (Tritagonis)      :  tegar, sabar dan kuat
Bukti   : “Bunda menangisi setiap malam Minggu. Tidak pakai air mata karena ia tidak punya cukup waktu. Ia menangis cukup dalam hati.”
            “.....Bunda bersandar kelelahan dengan bulir-bulir besar peluh membasahi wajah,...”
·         Perempuan (Antagonis)          : Egois, pasrah
Bukti   :“Bagi perempuan itu, cinta tanpa pilihan adalah penjara. Ia ingin dirinya dipilih dari sekian banyak pilihan. Bukan karena ia satu-satunya pilihan yang ada.”
            “Persahabatan yang luar biasa ternyata mensyaratkan pengorbanan di luar batas kesanggupannya. Perempuan itu mengucap maap berulang dalam hati.”
·         Adik (Antagonis)        : Egois, sosok yang sempurna
Bukti   : “Mereka sepakat untuk selama-lamanya pergi dari kehidupan rumah itu. Tidak mungkin mereka terpenjara setiap minggu di sana.”
“Anak bungsunya, yang juga laki-laki, menurut orang-orang adalah figur sempurna. Ia pintar, normal dan fisiknya menarik.”
                              3.            Latar
·         Latar Tempat
o   Pekarangan
Bukti   : “Di pekarangan dengan tinggi rumput seragam, perempuan itu mengucapkan selamat tinggal di dalam hati.”
o   Rumah Kos milik Bunda
Bukti   : “Rumah Bunda yang besar dan memiliki banyak kamar adalah rumah kos paling legendaris.”
o   Warung
Bukti   : “Baru sore hari ia ditemukan di sebuah warung.”

·         Latar Waktu
o   Malam Minggu
Bukti   : “Saat yang paling tepat untuk bermalam minggu di pekarangan.”
o   Setiap Pagi
Bukti   : “Setiap pagi dia membangunkan seisi rumah itu dengan ketukannya di pintu dan secerek air panas untuk mandi.”
o   Sore
Bukti   : “Baru sore hari ia ditemukan di sebuah warung.”
o   Setiap lebaran
Bukti   : “Semua anak kos kini menyingkir jika malam Minggu tiba.”
·         Latar Suasana
o   Santai
Bukti   : “Laki-laki dan perempuan itu terbaring di atas rumput, menatap bintang yang bersembulan dari carikan awan kelabu.”
o   Kaget
Bukti   : “Perempuan itu terenyak. Apa-apaan ini? Pikirnya gusar.”
“Bunda melengakkan kepala dengan tatapan tak percaya.”
o   Sedih
Bukti   : “Saat itu mata Bunda berkaca-kaca. Begitu juga dengan matanya.”
“Tidak pakai air mata karena ia tidak punya cukup waktu. Ia menangis cukup dalam hati.”
o   Tegang
Bukti   : ““Kami tidak mungkin sembunyi-sembunyi seumur hidup!” Anak laki-lakinya setengah berseru.“Kalau perlu kalian harus sembunyi-sembunyi seumur hidup!” balas Bunda lebih tegas.”
o   Gaduh
Bukti   : “Mereka tidak tahan mendengar suara lolongan, barang-barang yang diberantaki, dan seseorang yang hilir mudik gelisah mengucap satu nama seperti mantra.”
                              4.            Alur
Maju (Progresif)
Bukti   : “ cerita diawali dengan pengenalan dan diakhiri oleh penyelesaian”



                              5.            Tahapan Alur
·         Pengenalan
“Abang pengidap penyakit autis memiliki seorang sahabat perempuan yang selalu menemaninya setiap malam minggu dan Abang mendengarkan cerita cinta perempuan itu dengan laki-laki lain.”
·         Penenampilan masalah
“Bunda menemukan surat cinta yang dibuat Abang untuk perempuan itu.”
·         Klimaks
“Perempuan itu memilih adik Abang sebagai kekasihnya, dan mereka berdua memutuskan meninggalkan Bunda dan Abang.”
·         Penurunan Masalah
“Bunda dengan sabar menenangkan abang karena penyakit Abang selalu mengalami puncaknya setiap malam minggu.”
·         Penyelesaian
“Bunda menyadari tidak perlu ada kompetisi di sini. Ia dan juga malaikat tahu siapa juaranya.”
                              6.            Amanat
·         Mereka yang tidak paham dahsyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energi cinta akan meledakkannya dengan sia-sia.
·         Jangan pernah memaksakan apa yang telah menjadi pilihan seseorang
·         Jangan milihat seseorang melalui sisi buruknya saja tetapi juga di sisi baiknya.
                              7.            Sudut Pandang
Orang ketiga pelaku utama
Bukti   : “Pengarang tidak menggnakan tokoh aku, dan tokoh Abang menjadi tokoh utama dalam cerita tersebut.”
                              8.            Majas
·         Majas Hiperbola
“Mengubah rutinitas itu sama saja dengan menawar bumi agar berhenti mengedari matahari”
“seratus sabun adalah syarat bagi anaknya untuk beroleh hidup yang wajar.”
“Cintanya adalah paket air mata, keringat dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal begi seseorang.”
·         Majas Antonomasia
“ sebutan untuk Abang”


    II.            Unsur Ekstrinsik
1.      Nilai Sosial
Ketulusan seorang penderita autis untuk melakukan suatu hal atau membantu orang lain dengan tulus.
2.      Nilai Moral
Cinta abadi yang diberikan seorang ibu kepada anaknya tanpa pamrih
Dalam cerpen ini Dee yang merupakan ibu dari dua orang anak, ingin menunjukan tentang makna dari cinta yang abadi, tentang dedikasi seorang ibu kepada anaknya.


Minggu, 22 November 2015

Artikel

 Artikel

Artikel adalah karangan faktual secara lengkap dengan panjang tertentu yang dibuat untuk dipublikasikan (melalui koran, majalah, buletin, dsb) dan bertujuan menyampaikan gagasan dan fakta yang dapat meyakinkan, mendidik, dan menghibur.
Isi artikel dapat bermacam - macam, beberapa contoh yang sering kita baca :
1.      Sejarah
2.      Petualangan
3.      Argumentasi
4.      Hasil penelitian
5.      Bimbingan untuk melakukan/ mengajarkan sesuatu.
Penulis Artikel adalah orang atau individu yang bertindak dalam pengarangan sebuah tulisan, penggabungan beberapa kata menjadi kalimat yang menarik dan enak dibaca sehingga membuat pembaca merasakan dapat mengetahui apa yang sebelumnya tidak mereka ketahui sebelumnya.
Penulis artikel bermacam-macam kriterianya, sebagai berikut :
1.      Penulis Artikel Buku
2.      Penulis Artikel Berita
3.      Penulis Artikel Marketing
4.      Penulis Artikel Online
5.      Penulis Artikel Narasi
6.      Penulis Artikel Naskah
Jenis dan cara penulisan artikel
1.      Deskripsi
Karangan ini berisi gambaran mengenai suatu hal/ keadaan sehingga pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan hal tersebut.
Contoh deskripsi berisi fakta:
Hampir semua pelosok Mentawai indah. Di empat kecamatan masih terdapat hutan yang masih perawan. Hutan ini menyimpan ratusan jenis flora dan fauna. Hutan Mentawai juga menyimpan anggrek aneka jenis dan fauna yang hanya terdapat di Mentawai. Siamang kerdil, lutung Mentawai dan beruk Simakobu adalah contoh primata yang menarik untuk bahan penelitian dan objek wisata.
Contoh deskripsi berupa fiksi:
Salju tipis melapis rumput, putih berkilau diseling warna jingga; bayang matahari senja yang memantul. Angin awal musim dingin bertiup menggigilkan, mempermainkan daun-daun sisa musim gugur dan menderaikan bulu-bulu burung berwarna kuning kecoklatan yang sedang meloncat-loncat dari satu ranting ke ranting yang lain.
Topik yang tepat untuk deskripsi misalnya: Keindahan Bukit Kintamani, Suasa pelaksanaan, Promosi, Kompetensi Siswa SMK Tingkat Nasional, Keadaan ruang praktik, Keadaan daerah yang dilanda bencana.
Langkah menyusun deskripsi: Tentukan objek atau tema yang akan dideskripsikan, Tentukan tujuan, Tentukan aspek-aspek yang akan dideskripsikan dengan melakukan pengamatan, Susunlah aspek-aspek tersebut ke dalam urutan yang baik, apakah urutan lokasi, urutan waktu, atau urutan menurut kepentingan, Kembangkan kerangka menjadi deskripsi
2.      Narasi
Secara sederhana narasi dikenal sebagai cerita. Pada narasi terdapat peristiwa atau kejadian dalam satu urutan waktu. Di dalam kejadian itu ada pula tokoh yang menghadapi suatu konflik. Narasi dapat berisi fakta atau fiksi.
Contoh narasi yang berisi fakta: biografiautobiografi, atau kisah pengalaman. Contoh narasi yang berupa fiksi:
novel, cerpen, cerbung, ataupun cergam.
Pola narasi secara sederhana:
awal – tengah – akhir
Awal narasi biasanya berisi pengantar yaitu memperkenalkan suasana dan tokoh.
Bagian awal harus dibuat menarik agar dapat mengikat pembaca.
Bagian tengah merupakan bagian yang memunculkan suatu konflik. Konflik lalu diarahkan menuju klimaks cerita. Setelah konfik timbul dan mencapai klimaks, secara berangsur-angsur cerita akan mereda.
Akhir cerita yang mereda ini memiliki cara pengungkapan bermacam-macam. Ada yang menceritakannya dengan panjang, ada yang singkat, ada pula yang berusaha menggantungkan akhir cerita dengan mempersilakan pembaca untuk menebaknya sendiri.
Contoh narasi berisi fakta:
Ir. Soekarno
Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama adalah seorang nasionalis. Ia memimpin PNI pada tahun 1928. Soekarno menghabiskan waktunya di penjara dan di tempat pengasingan karena keberaniannya menentang penjajah.
Soekarno bersama Mohammad Hatta sebagai wakil bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Ia ditangkap Belanda dan diasingkan ke Bengkulu pada tahun 1948. Soekarno dikembalikan ke Yogya dan dipulihkan kedudukannya sebagai Presiden RI pada tahun 1949.
Contoh narasi fiksi:
Aku tersenyum sambil mengayunkan langkah. Angin dingin yang menerpa, membuat tulang-tulang di sekujur tubuhku bergemeretak. Kumasukkan kedua telapak tangan ke dalam saku jaket, mencoba memerangi rasa dingin yang terasa begitu menyiksa.
Wangi kayu cadar yang terbakar di perapian menyambutku ketika Eriza membukakan pintu. Wangi yang kelak akan kurindui ketika aku telah kembali ke tanah air. Tapi wajah ayu di hadapanku, akankah kurindui juga?
Langkah menyusun narasi (fiksi):
Langkah menyusun narasi (fiksi) melalui proses kreatif, dimulai dengan mencari, menemukan, dan menggali ide. Cerita dirangkai dengan menggunakan “rumus” 5 W + 1 H. Di mana seting/ lokasi ceritanya, siapa pelaku ceritanya, apa yang akan diceritakan, kapan peristiwa-peristiwa berlangsung, mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi, dan bagaimana cerita itu dipaparkan.
3.      Eksposisi
Karangan ini berisi uraian atau penjelasan tentang suatu topik dengan tujuan memberi informasi atau pengetahuan tambahan bagi pembaca. Untuk memperjelas uraian, dapat dilengkapi dengan grafik, gambar atau statistik. Contoh:
Pada dasarnya pekerjaan akuntan mencakup dua bidang pokok, yaitu akuntansi dan auditing. Dalam bidang akuntasi, pekerjan akuntan berupa pengolahan data untuk menghasilkan informasi keuangan, juga perencanaan sistem informasi akuntansi yang digunakan untuk menghasilkan informasi keuangan.
Dalam bidang auditing pekerjaan akuntan berupa pemeriksaan laporan keuangan secara objektif untuk menilai kewajaran informasi yang tercantum dalam laporan tersebut.
Topik yang tepat untuk eksposisi, antara lain: Manfaat kegiatan ekstrakurikuler Peranan majalah dinding di sekolah Sekolah kejuruan sebagai penghasil tenaga terampil. Tidak jarang eksposisi berisi uraian tentang langkah/ cara/ proses kerja.
Eksposisi demikian lazim disebut paparan proses.
Contoh paparan proses:
Cara mencangkok tanaman:
1. Siapkan pisau, tali rafia, tanah yang
subur, dan sabut secukupnya.
2. Pilihlah ranting yang tegak, kekar, dan
sehat dengan diameter kira-kira 1,5
sampai 2 cm.
3. Kulit ranting yang akan dicangkok dikerat
dan dikelupas sampai bersih kira-kira
sepanjang 10 cm.
Langkah menyusun eksposisi:
4.      Menentukan topik/ tema
5.      Menetapkan tujuan
6.      Mengumpulkan data dari berbagai sumber
7.      Menyusun kerangka karangan sesuai dengan topik yang dipilih
8.      Mengembangkan kerangka menjadi karangan eksposisi.


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
https://id.wikipedia.org/wiki/Artikel

Frasa

Frasa

Frasa atau frase adalah sebuah makna linguistik. Lebih tepatnya, frasa merupakan satuan linguistik yang lebih besar dari kata dan lebih kecil dari klausa dan kalimat. Frasa adalah kumpulan kata nonpredikatif. Artinya frasa tidak memiliki predikat dalam strukturnya. Itu yang membedakan frasa dari klausa dan kalimat. Simak beberapa contoh frasa di bawah ini:
·         ayam hitam saya
·         ayam hitam
·         ayam saya
·         rumah besar itu
·         rumah besar putih itu
·         rumah besar di atas puncak gunung itu
Dalam konstruksi frasa-frasa di atas, tidak ada predikat. Lihat perbedaannya dibandingkan dengan beberapa klausa di bawah ini:
·         ayam saya hitam
·         rumah itu besar
·         rumah besar itu putih
·         rumah putih itu besar
·         rumah besar itu di atas puncak gunung
Dalam konstruksi-konstruksi klausa di atas, hitam, besar, putih, besar, dan di atas puncak gunung adalah predikat.

Beberapa jenis frasa:
1.      Frasa dan kata majemuk
Frase kerap dibedakan dengan kata majemuk. Makna frasa tidak berbeda dengan makna kata yang menjadi kepala/inti frasa.
Misalnya:
Meja hitam tetaplah bermakna meja, tetapi ditambahkan pewatas sifat hitam. Meja kayu juga tetap meja, tetapi ditambahkan makna pewatas kayu.
Di sisi lain, kata majemuk memiliki makna yang sangat jauh berbeda dengan makna kata-kata yang menjadi unsur-unsurnya, sehingga kata majemuk kerap disebut memiliki makna idiomatis. (disebut kata kiasan)
Misalnya:
Meja hijau dalam bahasa Indonesia lebih bermakna 'sidang atau pengadilan', bukan semata-mata meja yang berwarna hijau. Tangan besi lebih bermakna kepemimpinan yang keras alih-alih tangan yang terbuat dari besi.

2.      Frasa eksosentris
Frasa eksosentris adalah frasa yang tidak mempunyai persamaan distribusi dengan unsurnya. Frasa ini tidak mempunyai unsur pusat. Jadi, frasa eksosentris adalah frasa yang tidak mempunyai UP.
Contoh: Sejumlah mahasiswa di teras.
3.      Frasa nominal
Nominal adalah lawan dari verbal. jika verbal adalah kalimat yang berpredikat "Kata Kerja" maka kalimat nominal berpredikat kata benda atau kata sifat. untuk membentuk kalimat nominal, maka unsur kalimat harus memenuhi Subjek, To Be dan komplemen. misalnya "I am Tired", I=subjek, am=To Be dan Tired=Adjective (Passive voice verb). ini adalah contoh kalimat nominal. arti lain dari nominal adalah rangkaian angka yang menunjukkan jumlah tertentu, kemudian adapula arti nominal sebagai kualifikasi (nominasi).
4.      Frasa verbal
Frasa Verbal, frasa yang UP-nya berupa kata yang termasuk kategori verba. Secara morfologis, UP frasa verba biasanya ditandai adanya afiks verba. Secara sintaktis, frasa verba terdapat (dapat diberi) kata ‘sedang’ untuk verba aktif, dan kata ‘sudah’ untuk verba keadaan. Frasa verba tidak dapat diberi kata’ sangat’, dan biasanya menduduki fungsi predikat.
Contoh:
1.     bekerja keras
2.     sedang berlari
Secara morfologis, kata berlari terdapat afiks ber-, dan secara sintaktis dapat diberi kata ‘sedang’ yang menunjukkan verba aktif.



https://id.wikipedia.org/wiki/Frasa